KEBAHAGIAAN MAHASISWA DALAM PERSPEKTIF STOIKISME
Mahasiswa yang bahagia merupakan aset negara.
Sumber : Getty Images/iStockphoto
Menurut Buya Hamka dalam bukunya yaitu Falsafah Hidup, kebahagian merupakan
suatu hal yang mutlak dan tidak dapat ditemukan kecuali dengan mengenal
kebaikan tuhan. Kita akan menemukan bahwa ada banyak penelitian tentang
kebahagiaan mutlak. Namun, sampai sekarang kebahagiaan merupakan hal yang sulit
didefinisikan.
Setidaknya ada 8 dari 10 mahasiswa yang mengeluh perihal beban akademis
yang diberatkan kepada mereka. Selain itu, kebanyakan mahasiswa yang sedang
dalam tahap menyusun skripsi sering kali skeptis dengan apa yang mereka
kerjakan. Tidak jarang, mahasiswa lebih memilih untuk mengundurkan diri dari
institusinya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dibanding
harus berhadapan lagi dengan proses menyusun skripsi.
Stoikisme membawa pada analisis kecil tentang kebahagiaan mahasiswa. Ajaran
ini sendiri muncul di tahun 301 sebelum masehi (SM), merupakan suatu aliran
filsafat kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium, ia adalah seorang pedagang
yang terdampar lalu mendarat di kota Athena.
Kebahagiaan adalah suatu hal yang abstrak. Secara medis, tingkat
kebahagiaan seseorang dapat diukur dengan 4 jenis hormon dalam tubuh manusia
yaitu; Dopamin, Serotonin, Oksitosin dan Endorfin. Namun hal ini tidak bisa
sepenuhnya mengukur kebahagiaan mahasiswa. Terlebih, beban akademis yang mereka
keluhkan.
Menurut stoik, perasaan bahagia hanya bisa tercapai apabila kesadaran
tentang dikotomi kendali dan dikotomi tidak terkendali dapat terpenuhi oleh manusia.
Dikotomi kendali merupakan cara berpikir di mana ada suatu hal yang bisa kita
kendalikan dengan cara memberikan citra kepada orang lain baik berupa
pertimbangan, opini maupun persepsi diri sendiri. Sebaliknya, dikotomi tak terkendali
adalah hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, contohnya tindakan orang lain,
opini, reputasi dan segala sesuatu yang di luar kendali kita.
Ajaran stoik membimbing kita bahwa kebahagiaan sejati hanya datang dari dalam.
Misalnya, tugas yang banyak sering membuat mahasiswa tidak bahagia. Contoh ini
memperlihatkan bahwa tugas yang menumpuk tidak berasal dari kehendak mahasiswa
sehingga memicu rasa terbebani, sedih dan jenuh. Hal-hal yang ada dalam kendali
kita memiliki sifat bebas, tidak terikat dan tidak terhambat. Sedangkan, hal
yang berada di luar kendali bersifat lemah, terikat dan milik orang lain.
Mahasiswa memiliki beban akademis sejak saat ia memutuskan untuk masuk
dalam dunia perkuliahan. Maka dari itu, konsekuensi mahasiswa sebagai bagian
dari institusilah yang merupakan inti dari ketidakbahagiaan muncul. Mahasiswa
cenderung tidak merdeka, terikat, bagai budak dan jenuh.
Namun, kebahagiaan itu bersifat abstrak. Ia dapat dimiliki setiap orang
apabila mereka berupaya menggapainya. Stoik mengajarkan bahwa setiap hal membahagiakan
adalah hal-hal rasional yang berupaya untuk selaras dengan alam. Maksudnya,
menggunakan nalar, cara berpikir yang benar dan tidak menyalahkan Tuhan atau
mahluk sekitar mereka. Sebagai contoh, A merupakan teman dari si B yang telah
lama tidak bertemu. Lalu suatu hari, mereka berbincang setelah lama tidak
berjumpa dan secara tak sengaja perkataan A sedikit menyinggung pribadi B. Bila
si B berpikir rasional, maka ia akan menganggap bahwa perkataan A adalah suatu
ketidaksengajaan yang terjadi akibat terlalu girang dalam pertemuan lama
mereka. Sebaliknya, jika B tidak berpikir rasional maka ia akan marah dan
langsung meninggalkan A tanpa tahu apakah perkataan itu disengaja atau tidak.
Begitu pula dengan mahasiswa, stoik memberikan solusi bahwa suatu hal yang
kita kendalikan akan membuka pintu kebahagiaan diri. Mahasiswa dapat senantiasa
belajar atau mengerjakan tugas sesuai kehendak tanpa ada rasa terbebani dengan
cara berpikir rasional. Yaitu, berpikir suatu hal yang dapat kita kendalikan.
Selain itu, memberi penghargaan kepada diri sendiri yang telah berusaha
melakukan hal terbaik adalah salah satu upaya untuk menjadi bahagia.
Di zaman yang semakin pesat ini, revolusi industri sudah tidak lagi
berbasis dengan sistem keuangan global, tetapi sudah masuk pada revolusi
industri berbasis nalar dan perilaku. Semakin banyak orang yang berbahagia
apalagi mencakup anak muda yang sedang mengenyam pendidikan, maka semakin maju
akal sehat suatu bangsa sehingga akan sangat mungkin gelar “Negara Maju” di
Indonesia tercapai.
Komentar
Posting Komentar