JURNALANYE: Cerita Pendidikan di Desa Nelayan
Pada tahun 2024 ini, pengalaman saya sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk pertama kali saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke salah satu desa yang ada di Sumatera Selatan. Mungkin untuk sebagian orang hal itu sudah biasa mereka lakukan manalagi tempat yang saya kunjungi juga di Sumatera Selatan yang artinya dekat dengan kota Palembang. tapi bagi saya hal itu sangat menarik dan menyenangkan, ada banyak hal yang tidak pernah saya temukan sedari saya kecil.
09 Oktober 2024
Hari itu saya pergi ke Desa Sembilang. Desa ini dikenal dengan desa nelayan— tempat para nelayan singgah dan beristirahat di sana. Banyak juga dari mereka hidup sambil menjalanlan peluang usaha yang berpotensi memperbaiki ekonomi. Sepeti misalnya usaha sedia Wi-Fi internet, Karena sinyal di sana sangat sulit dijangkau maka masyarakat melihat peluang usaha "sedia internet" dengan tarif Rp. 15.000 per hari, sedangkan untuk 3 hari saja mereka hargai dengan Rp. 50.000
Usaha seafood juga sangat menguntungkan di sana, sebagian kecil masyarakat di sana juga memiliki rumah di kota dan usaha lain yang sangat membantu perekonomian mereka.
Namun sayangnya desa yang terdiri dari 2 dusun ini hanya memiliki taman kanak-kanak dan sekolah dasar saja untuk kebutuhan pendidikan mereka, beruntung jika masyarakat memiliki cukup banyak uang dan kesadaran penuh untuk menyekolahkan anak mereka ke kota, tapi kebanyakan anak-anak yang tinggal memutuskan menjadi nelayan atau membantu usaha orang tuanya. Anak perempuan kebanyakan tidak punya pilihan selain menikah atau berdiam di rumah membantu orang tua. Orang tua tidak cukup memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anak perempuan mereka karena berbagai macam faktor, salah satunya ialah bahwa untuk melanjutkan SMP dan SMA, anak-anak harus merantau ke luar desa, beruntung jika para orang tua memiliki keluarga di kota agar bisa menitipkan anaknya, namun jika tidak maka mereka terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah, manalagi kebutuhan sekolah yang dirasa mahal dan banyak.
Bukan hal yang aneh jika para orang tua di sana memilih untuk tidak menyekolahkan anak mereka karena ingin "diurus" oleh anaknya, mereka tidak ingin anak jauh. Masyarakat di sana menganggap bahwa selama hidup mereka cukup dengan uang hasil bernelayan atau hasil dari usaha yang mereka jalankan, maka hidup akan aman saja walaupun anak mereka tidak menjadi apa-apa.
Banyak sekali anak di desa tersebut menikah di usia yang masih belia, rata-rata di kisaran umur 15-17 tahun. Bahkan salah satu kakak perempuan dari teman saya di sana bercerita bahwa kakaknya dipaksa untuk menikah sebab orang tua tidak mampu lagi menghidupinya.
Salah satu teman saya juga putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu lagi untuk menyekolahkannya. Ia dihadapkan pada pilihan "mau sekolah atau ibu gk bisa operasi?". Ia adalah perempuan yang saya akui cerdas dan pintar dalam menulis sastra. Saya berdoa semoga ia diberikan jalan oleh Tuhan untuk melanjutkan sekolahnya lagi dan menggapai impiannya dengan bebas, Aamiin..
Anak-anak di sana harus menerima takdir bahwa ia hidup di lingkup kemiskinan. Kemiskinan yang membentuk mereka menjadi seseorang yang tidak sadar terhadap pendidikan. Kalau dipikir lagi seharusnya pemerintah Sumsel bisa menjangkau desa tersebut dan memberantas kemiskinan lewat pendidikan. Walaupun desa tersebut dibilang terpencil— saya mengakui bahwa desa tersebut kecil, namun bukan berarti mereka yang tinggal dan menyambung hidup di sana tidak dapat hak untuk mengenyam pendidikan. Setidaknya pemerintah mampu menyediakan sekolah di desa tersebut atau menyediakan program khusus agar anak-anak desa dapat melanjutkan sekolah tanpa memikirkan biaya dan kendala lainnya.
Kisah ini juga menyadarkan saya bahwa ketimpangan sosial yang terjadi di lingkup kota dan desa sangatlah berbeda. Di Kota kebanyakan, kita hampir tidak melihat anak-anak yang putus sekolah— bukan berarti tidak ada tetapi dianggap asing bagi masyarakat. Sedangkan, di desa terkhusus Desa Sembilang, anak-anak putus sekolah dianggap biasa bahkan dimaklumi dan bukan menjadi suatu persoalan yang besar.
Semoga Tuhan mengizinkan saya lagi untuk mengeksplor lebih banyak desa-desa agar diri sendiri belajar betapa banyaknya orang-orang yang tidak beruntung di dunia ini.
Terima kasih, salam hangat dari saya, Anyelir! 🌻💕
Komentar
Posting Komentar