JURNALANYE : Alfred Adler, Psikolog Cerdas Penentang Psikoanalisis Sigmund Freud.


Sepertinya, untuk tulisan kali ini saya akan lebih berfokus pada buku yang saya baca. Buku kali ini adalah buku Psikologi yang lumayan ringan dengan banyaknya analogi yang dipakai. Menarik sekali kalau kita bicara Psikoanalisis Sigmund Freud tentang Trauma. Namun, nyatanya teori itu sudah terbilang kuno. Kali ini, Teori Alfred Adler datang untuk memberikan Antitesis dari Teori Freud. 

Antara Ketidakmampuan dan Ketidakmauan. 

Wajar jika seseorang memiliki rasa takut. Takut adalah perasaan cemas berlebih yang disebabkan oleh pola pikiran. Tapi, apakah takut bisa diatasi? 
Menurut Psikologi Adler, Takut adalah pola pikir yang terbentur oleh masa lalu atau ekspektasi masa depan. Maksudnya adalah perasaan yang didorong oleh kejadian lampau dan yang akan datang sehingga membuat kerja otak dalam ketakutan terus menerus mendukung. Misalnya, sejak kecil saya anak yang takut pada bunyi gitar. Hal itu disebabkan karena dulu ayah saya marah sambil ia bermain gitar. Kejadian itu yang membuat saya trauma pada gitar. Tapi bukan berarti saya tidak bisa menghilangkan rasa trauma itu, saya hanya belum mau beranjak dari rasa trauma saya pada suara gitar karena saya tahu jika saya beranjak pada Trauma itu, saya akan kehilangan rasa "spesial" dalam diri saya. Setiap orang ingin terlihat berbeda dan ingin di-spesial-kan dalam lingkungannya. 

Adler juga menambahkan bahwa hanya hubungan antar manusia— Interpersonal— yang menimbulkan masalah. Misalnya, kesepian. Kesepian adalah kondisi di mana kita merasa sendiri di tengah orang-orang banyak. Artinya, kita membutuhkan orang lain untuk merasa kesepian. Pada kenyataannya, sendiri merupakan hal yang bahagia karena tidak ada satu pun hal yang menekan identitas asli kita — jika kalian ingat mengenai "persona" Justav Jung. 

Antara Perasaan Inferior, Kompleks Inferioritas dan Kompleks Superioritas. 

Menurut Adler, perasaan inferior adalah perasaan yang berlandaskan pada keterbatasan diri. Seperti misalnya kekurangan fisik, kekurangan wawasan atau kekurangan skill. Akibat kekurangannya tadi, ia merasa harus banyak belajar dan mengembangkan dirinya. Ya, perasaan inferior justru membawa kita pada semangat yang lebih untuk mencapai tujuan baik yang kita inginkan. Jika kita tidak memiliki perasaan inferior, orang tidak akan bisa menelaah dirinya lebih dalam. Ia akan selalu merasa sempurna dan mengakibatkan berhenti pada kemajuan keberlangsungan hidupnya. 

Berbeda dengan Kompleks Inferioritas. Menurut Adler, ada orang-orang yang tidak ingin mengubah pola pikir inferior yang membuat dia tetap dalam kondisi "ke-minder-annya" ia senang untuk merasa kurang percaya diri. Sebab, jika ia tidak merasa percaya diri, ia akan menganggap bahwa ia adalah orang yang patut dikasihani dan mau membuat orang mengspesialkan dirinya terus menerus. Kompleks Inferioritas mengacu pada pandangan tentang persaingan. Ia menganggap bahwa orang lain musuh yang berbahaya. Jika Kompleks Inferioritas terjadi dalam jangka waktu yang panjang, maka akan berubah menjadi Kompleks Superioritas. 

Kompleks superioritas merupakan kondisi di mana pribadi mulai ingin menguasai pandangan orang lain dengan mengandalkan kekurangan. Apakah kalian pernah mendengar kata dari seseorang— mungkin senior atau orang lain. "Dulu di zaman kami perpeloncoan itu lebih parah". Kalimat itu merupakan satu contoh kompleks superioritas, di mana ia mempergunakan ancaman yang berdekatan dengan pengalaman pribadinya agar dapat menundukkan orang lain. Ia ingin dianggap berkuasa dengan kekurangannya. Hal ini pula, dilandaskan pada persaiangan atau bisa juga kita sebut sebagai eksistensi agar diakui sebagai "penguasa". 

"Jika ada seseorang yang memakimu, itu adalah bentuk dari perebutan kekuasaan" -Alfred Adler. 

Artinya, untuk mencapai hidup yang berbahagia, kita cukup tidak menganggap bahwa dunia adalah ring tinju atau pertunjukan persaingan antar aktor baik dengan aktor baik lainnya. Kita haruslah menganggap bahwa dunia ini dipenuhi oleh saudara seperjuangan — istilah Adler — yang mengacu pada perdamaian manusia satu dengan yang lainnya. Tidakkah kita membayangkan apabila manusia selaras dan tidak ada persaingan di dunia ini, apa yang akan terjadi? Apa hidup akan sejahtera? Apa hidup akan berbahagia dan tenang? 

Persaingan membawa kita pada kebenaran dan kesalahan mutlak yang sebetulnya bersifat tak pasti (abstrak). Selain itu, menurutku persaingan merupakan permainan sistem pasar yang dirancang untuk memakmurkan nilai sumber daya manusia itu sendiri, eitss.. namun, untuk kepentingan pasar yaa.. 
Bayangkan misalnya, kita ada dalam sebuah pertandingan lari dan berusaha untuk menang dalam keadaan "terpaksa". Apakah kita akan berbahagia? 
Kira-kira begitulah analoginya hehehe. 
 
Sepertinya cukup sampai disini dulu ya jurnal saya, Next akan bahas lagi mengenai buku ini salah satunya mengenai amarah dan kewajiban kehidupan. Semoga kalian para pembaca jurnalku suka dengan karya tulis omong kosong ini hehehe. 

Sekian
Salam hangat, Anye 💚

Komentar

Postingan Populer