FEMINISME DALAM KARYA SINEMATOGRAFI.
Penulis : Anyelir Putri Rahayu
Sinematografi, Film dan Gender Equality
Artikel ini saya buat untuk memenuhi tugas saya dalam mata kuliah Sinematografi. Dalam pengamatan saya terhadap Sinematografi dan berdasarkan buku yang saya baca, saya sangat tertarik untuk menulis bagaimana Sinematografi menggambarkan keadaan sosial tentang kesetaraan. Baik kesetaraan dalam karya-karya Sinematografi maupun dalam proses pebuatan karya tersebut.
Sinemtografi dalam pengertian etimologinya berasal dari kata sinema = kinematik yang artinya gerak. Lalu graphie yang artinya tulisan atau gambar. Dan pytos yang artinya cahaya. Jadi, secara umum, sinematografi merupakan suatu ilmu yang menggabungkan gambar-gambar dari sudut pandang yang berbeda sehingga menimbulkan gerak melalui cahaya. Untuk lebih memahaminya, sinematografi merupakan suatu ilmu dan teknik pembuatan film. Sedangkan, sinematograf sendiri merupakan kamera yang digunakan untuk proses pembuatan film.
Film adalah produk atau karya dari kegiatan Sinematografi. Karya sinematografi merupakan perpaduan dari kelompok orang dalam penguasaan teknologi, olah seni, komunikasi, dan manejemen organisasi. Pada awalnya, sinematografi hanya bisa merekam gambar tanpa suara. Seiring berjalannya waktu, sinematografi berkembang dari gambar yang bergerak tanpa suara hingga beralih ke video yang mampu merekam suara sekaligus.
Gender Equality atau kesetaraan jender merupakan pandangan bahwa setiap orang harus diperlakukan setara dan tidak didiskriminasi baik berdasarkan jenis kelamin, ras, suku, agama dan daerah tempat mereka berasal. Menurut Nasaruddin Umar, pengertian jender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Jender dalam artiannya mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari sudut pandang nonbiologis. Misalnya, perempuan cenderung dinilai lemah dalam persoalan fisik sedangkan laki-laki cenderung kuat dan kasar. Namun, tidak bisa kita pungkiri bahwa jender muncul dari hasil hubungan sosial dan budaya masyarakat.
Apa itu Patriariki?
Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam organisasi sosial. Gerakan perempuan selalu menganggap bahwa sistem sosial ini adalah pintu utama dalam penindasan terharap perempuan. Laki-laki punya hak penuh atas aturan baik dalam keluarga, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan bahkan dalam dunia seni. Contohnya seperti, dalam sebuah perusahaan A perempuan tidak disarankan untuk mengajukan diri sebagai Leader walaupun kinerjanya baik, karena aturan dan persyaratan perusahaan menetapkan bahwa hanya laki-laki yang bisa menduduki posisi tersebut.
Dalam dunia seni juga tidak jarang kesetaraan jender masih menjadi isu yang sangat hangat. Contohnya, karya sinematografi dalam film “Penyalin Cahaya” yang mengangkat kasus kekerasan seksual. Namun, dalam proses pembuatan film tersebut ada kru yang terlibat kasus pelecehan seksual. Dari contoh kasus di atas ternyata bahwa banyak sekali kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual baik pria maupun perempuan sebagai korbannya.
Sinematografi dan kesetaraan jender
Salah satu bentuk komunikasi yang menggambarkan realitas sosial masyarakat adalah film. Melalui film, pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat akan cepat tersebar luas apalagi di zaman sekarang yang semakin pesat jaringan internetnya. Adapun, aplikasi atau website film gratis yang menghadirkan bermacam-macam film mulai dari film dalam negeri sampai film luar negeri. Film kerap kali dijadikan media untuk menyampaikan isu-isu sosial yang meresahkan masyarakat termasuk juga isu kekerasan atau pelecehan seksual.
Sebagai contoh, film “Hope” yang berkisah tentang anak perempuan berusia 8 tahun bernama so won. Ia mendapatkan kekerasan seksual dengan diperkosa oleh seorang laki-laki secara brutal di dalam toilet umum. Akibatnya, ia mengalami trauma berat dan takut dengan laki-laki bahkan terhadap ayahnya sendiri.
Dalam contoh film di atas, film tersebut menyampaikan pesan bahwa kekerasan seksual terjadi bukan kepada remaja atau orang dewasa saja. Namun, juga bisa menyerang anak-anak. Film itu juga menggambarkan keresahan masyarakat mengingat bahwa kasus kekerasan seksual sangat marak terjadi sehingga tidak menutup kemungkinan semua orang bisa saja mengalaminya. Selain itu, dalam karya-karya sinematografi lainnya. Kita bisa melihat bahwa pengangkatan isu kekerasan atau pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Sebagai contoh seperti film Suffragetes, Penyalin Cahaya, Spotlight, Room dan masih banyak lagi.
Sinematografi merupakan ilmu yang membahas tentang film. Tak hanya itu, seorang yang tergabung dalam proses pebuatan karya sinematografi dituntut untuk melhat keresahan pada masyarakat dan lebih peka dalam isu-isu kriminal jender di mana, hal ini masih sangat tertutup mengingat pola pikir masyarakat yang masih terbelakang.
Seperti film “Marlina Si Pembunuh.” Sang sutradara mengangkat film ini atas dasar keresahan pada kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesetaraan jender di Indonesia. Beberapa adegan dalam film ini sengaja dibuat emosional agar penonton sadar akan pentingnya kesetaraan jender. Adegan “Marlina Membunuh Markus” yang mempresentasikan bahwa perempuan mulai mendapatkan kontrol terhadap dirinya sendiri dan bertindak sesuai kemauannya. Pencitraan di mana perempuan selalu terpenjara oleh kontrol laki-laki diperlihatkan dalam adegan ini. Perempuan jadi berani untuk mengambil langkah dan sebagai bentuk perlawanannya di mana perempuan sering direndahkan dan dianggap sebagai objek seksual semata.
Masyarakat yang masih berpikir bahwa terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual disebabkan oleh perempuan yang berpakaian terbuka, lingkungan yang jahat, bahkan menyalahkan korban atas kurangnya keimanan Agama dalam diri korban.
Dalam film, penyampaian pesan yang bertujuan untuk mencerahkan proses berpikir masyarakat bisa diperbaiki dengan menyajikan film yang bersifat edukatif dalam persoalan tabuh seperti ini. Tak jarang, masyarakat masih berpikir bahwa perempuan hanya lahir untuk dijadikan istri atau ibu rumah tangga sehingga menutup kemungkinan perempuan untuk bisa menjunjung tinggi pendidikan.
Sinematografi yang merangkul kesetaraan
Sinematografi merupakan ilmu yang lebih luas dibandingkan fotografi atau videografi. Menurut salah satu akademisi yang bergerak di bidang Sinematografi, sinematografi merupakan proses berpikir yang membutuhkan ilmu filsafat dan semiotika di mana seni untuk memengaruhi psikologi seseorang dituntut untuk diperdalam. Peka terhadap suasana, perasaan dan lingkungan sekitar menjadikan seorang sinematografer harus berpikir secara mendalam untuk mencapai tujuannya.
Dalam karya sinematografi yang terkait dengan kesetaraan, seperti film yang disebutkan di atas. Sinematografer mengandai-andaikan dirinya menjadi korban, menjadi pelaku, masuk kedalam ilusi suasana, apakah itu sedih, marah, haru, dll. Sehingga sebelum ia menciptakan suatu karya kesetaraan maka ia harus memahami apa itu ketidaksetaraan. Maka dari itu, sinematografi adalah proses berpikir sebelum menangkap, merekam dan mengatur gambar atau video.
Dalam kesetaraan, kita tidak hanya berbicara tentang jender semata. Namun, tentang ketidakadilan yang dilahirkan dari perbedaan baik itu jender, negara, suku, warna kulit dan berbagai macam hal yang berbeda. Termasuk dalam sinematografi itu sendiri. Perbedaan bagian misalnya, seperti assisten kamera, lalu aktor utama dan aktor pembantu malah dapat menimbulkan ketidaksetaraan karena suatu perbedaan kualitas. Sinematografer yang baik harus bisa memikirkan bagaimana caranya merangkul kesetaraan yang bijak tanpa menyinggung pihak yang berbeda-beda.
Komentar
Posting Komentar