Legenda Putri Pinang Masak: Perempuan Cantik Akan Menderita

Beberapa waktu lalu sekitar awal September 2025, beberapa teman kantor ditugaskan untuk meliput salah satu legenda di Sumsel yang cukup menarik. Termasuk saya yang diminta untuk menjadi host program baru di kantor saya. 

Sudah setengah tahun saya menetap sebagai seorang jurnalis di salah satu media lokal Sumsel. Biasanya saya hanya diminta untuk meliput beberapa agenda pemerintah atau isu yang sedang hangat di sekitar saya. Namun kali agak berbeda. 

Dalam tawaran yang cukup menguji nyali ini, akhirnya saya dan tim berangkat menuju salah satu desa di Ogan Ilir. Konon, desa ini menyimpan hal yang berbau mistik. 

Desa Senuro namanya. Banyak masyarakat dari berbagai kelas datang dan juga dari berbagai kota yang diluar dari wilayah Sumsel. Saya berkesempatan bertemu dengan Kepala Desa Senuro dan juga seseorang yang di sebut "Juru Kunci" makam Putri Pinang Masak. 

Karena waktu yang singkat, kami langsung dibawa ke salah satu makam yang katanya adalah makam dari Putri Pinang Masak. Tidak selang beberapa lama, Juru Kunci menghampiri saya. Ia bilang kalau mau masuk ke makam, saya harus berselendang menutupi rambut.

Tampak luar, bangunan makam seperti sepetak rumah yang diberi keramik, persis seperti mushola di desa-desa pada umumnya. Atapnya juga terbuat dari seng yang memang dibangun untuk menandakan bahwa makam tersebut adalah tempat yang dijaga. Masuk ke dalam, ternyata terdapat 3 makam yang salah satunya ditutupi dengan tutupan kain seperti kelambu. 

Pak Daili, seorang Juru Kunci makam menceritakan, makam yang ditutupi itu adalah makam dari Putri Pinang Masak. Awal kisah, sang putri bernama Nafisah, seorang gadis asal Banten yang hijrah ke Kota Palembang. 

Nafisah terkenal dengan parasnya yang cantik dan memukau laki-laki sampai Kesultanan Palembang memaksanya untuk menjadikan selir. Terdapat beberapa versi cerita yang berbeda mengenai hal itu. Versi pertama Nafisah dijadikan selir, versi lainnya mengatakan Nafisah dipaksa untuk dijadikan istri. 

Lanjutnya, Nafisah yang mendengar hal tersebut menolak untuk dijadikan selir oleh Sultan Palembang. Alhasil Nafisah mewarnai tubuhnya dengan jantung pisang yang hitam sehingga kulitnya nampak kusam dan terlihat buruk. Sultan Palembang merasa tertipu oleh paras Nafisah sehingga dalam kesempatan itu, ia pergi ke salah satu desa di Ogan Ilir, yakni Desa Senuro. 

"Dia gak mau dijadikan selir oleh Sultan Palembang, akhirnya dia memilih kabur menggunakan perahu ketek—perahu khas Palembang— dan menemukan Desa Senuro, desa yang ditempati sekarang ini," jelas Pak Daili. 

Asal muasal nama Putri Pinang Masak, diartikan dengan seorang putri yang melumuri tubuhnya dengan jantung pisang. Namun demikian, Sultan Palembang pada akhirnya tahu bahwa Nafisah sengaja membohonginya agar tidak dijadikan selir. 

Kata sebagian penduduk, saat ia tinggal di desa, hidupnya dipenuhi dengan rasa sepi. Disamping itu, Nafisah belajar menganyam tikar dan melakukan keterampilan lain hingga akhir hidup. Nafisah tidak menikah dan tetap sendiri. Banyak orang bilang kesepian Nafisah diluapkan dengan amarah. 

Ia mengutuk desa agar tidak memiliki perempuan cantik di sana sebab menurutnya memiliki paras cantik tidak membuat laki-laki tulus mencintai. Konon, dalam beberapa waktu setelah Nafisah meninggal, perempuan dengan paras cantik sangat jarang di desa tersebut sampai seorang dukun sakti memecahkan kutukan sang putri.

"Kata kakekku yang waktu itu masih hidup, memang di Desa Senuro dulu tidak ada yang cantik parasnya. Sampai akhirnya datang orang pintar untuk menghilangkan kutukan itu. Sekarang, desa ini sudah normal. Perempuan-perempuan yang ada di sini sudah cantik," jawab Daili dengan sedikit tersenyum. 

Kisah Putri Pinang Masak cukup tersebar luas di pulau Sumatera. Terutama di Sumsel, Riau dan Lampung. Ada banyak versi namun peliputan kali ini saya hanya mengulik cerita yang berasal dari Sumsel. 

Sebelum pulang kami diperlihatkan beberapa jimat peninggalan dari Putri Pinang Masak di rumah Pak Daili. Benda itu adalah tikar, batu kecil dan rambut yang dianyam—katanya itu rambu sang putri. 

Tidak sembarang orang dapat diizinkan untuk melihat benda peninggalan tersebut, kami pun tidak diperbolehkan untuk menayangkannya di media. Dengan membakar kemenyan dan tempurung kelapa, kami dipersilahkan untuk meminum air rendaman jimat. 

Tidak hanya itu, kami juga diberikan air rendaman tersebut untuk dibawa pulang. Pak Daili bilang, air ini berguna untuk kesehatan dan jadi pembuka aura agar terlihat cantik atau ganteng bagi orang yang meminum dan memakainya untuk mandi. Terkhusus untuk mandi, ia menyarankan agar air itu dicampur dengan bunga 7 rupa dan salah satu dari bunga itu haruslah bunga melati. 

"Putri sangat suka dengan bunga melati, makanya dari semua ritualnya pasti ada bunga itu. Dalam barang peninggalannya pun selalu diselipkan bunga Melati," katanya. 

Kami dan tim pulang ke kota dan sampai dengan selamat. Mungkin pukul 8 malam saat itu. Anehnya tidak ada satupun dari kami yang berani untuk membawa air rendaman jimat kecuali Kak Harry—Kameramen kami. 

Satu hal yang menarik diucapkan oleh Kak Harry: 

"Jangan terlalu percaya, anggep aja ini air putih biasa yang menyehatkan badan," kata dia serius. Tapi tetap saja, saya tidak seberani itu untuk menggunakan air tersebut. Alasan pentingnya adalah urusan kepercayaan. 

Komentar

Postingan Populer