JURNALANYE: Ecofeminisme dalam Perannya Membantu Menuntaskan Isu Lingkungan.

Kalau kita membahas tentang isu lingkungan, baik itu kebakaran hutan, banjir, kerusakan gambut dan lain sebagainya. Isu tersebut merupakan hal yang sudah biasa terjadi, karena kita semua berdiri di negara yang memang pada realitasnya mengalami itu. 

Cerita sedikit tentang pengalaman saya, domisili saya di Palembang tepatnya di Jl. Demang Lebar Daun. Pada tahun sekitar 2020/2021, saat itu kota saya mengalami bencana asap yang disebabkan karena kebakaran lahan gambut di beberapa titik di Sumatera Selatan. Pada saat itu saya punya adik sepupu usia 2 tahun yang tidak berhenti menghisap Sybicort setiap pagi. Karena dosis obat tersebut cukup tinggi, akhirnya nenek saya memutuskan untuk membawanya kerumah sakit agar di kasih semacam pengobatan uap untuk menghilangkan sesak nafasnya. Pengobatan itu, sayangnya tidak ditanggung oleh BPJS beserta dengan biaya obat resep yang diberikan. Di sini saya mulai menyadari bahwa isu lingkungan yang berdampak pada kesehatan bukan merupakan tanggung jawab dari pemerintah apalagi dari "pelaku" yang berbuat. Bisa saya bilang TIDAK BERTANGGUNG JAWAB SAMA SEKALI!  


Saya membaca buku Ecofeminism dari Vandana Shiva dan Maria Mies.  Mengutip dari essay yang ditulis oleh Maria menyoal perempuan sebagai penggerak dalam teori dan metodologi jenis baru yaitu Studi Perempuan, ia menjelaskan bahwa "Dalam realitasnya, ilmu pengetahuan sekarang ini menyediakan instrumen-instrumen paling penting bagi munculnya penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan dalam kaitannya terhadap kondisi biologis dan reaksi seksual yang terdapat dalam ilmu psikologi, pendidikan, dan sebagainya" 

Penjelasan tersebut sangat dekat mengenai pengalaman pendidikan kita yang menilai bahwa tubuh perempuan adalah alat reproduksi yang bebas saja dijarah dan dieksploitasi. Apalagi dalam perspektif teologis. 

Alam, dalam hal ini sering sekali diandaikan sebagai tubuh perempuan. Misalnya, "Perempuan adalah bumi bagi kehidupan". Hal ini bukanlah suatu kebanggaan bagi perempuan karena pada maknanya, ditemukan bahwa perempuan sebagai bumi adalah yang banyak menghasilkan sumber daya, maka dapat pula dieksploitasi dan dijajah terus menerus. Hal itu yang menyadarkan saya bahwa ternyata perempuan dan alam adalah satu komponen yang dalam waktu ke waktu, masa ke masa, terus mendapatkan ketidakadilan. 

Maka dari itu Ecofeminism lahir untuk mengubah tatanan kebijakan atau metode penelitian dalam melihat perspektif —sudut pandang— dari perempuan dan alam. 


Dalam konteks pertanian, perempuan adalah pemasok sekitar 80% pangan dan menjadi pengelola setengah produk pangan dari seluruh dunia. Tetapi, karena perempuan terus ditekan dengan ekonomi, sosial, teknologi dan ilmu pengetahuan, maka perempuan terus-menerus dikendalikan atas dasar diversity. Ini membuat kualitas perempuan dalam pertanian menjadi menurun. 

Keadaan hari ini melihat bahwa pertanian dan pengelolaan pangan yang sudah keluar dari keterikatan perempuan, malah menjadi sangat buruk dan bodoh. Karena pasar yang terus menerus menuntut produksi, sehingga pertanian keluar dari proses alamiah dan berpikir bahwa proses alamiah tersebut adalah hambatan untuk memperoleh produksi. Alhasil, pertanian pada hari ini merusak komponen alam, tanah dan melahirkan produk pertanian yang buruk dan tidak berkelanjutan.  

Ecofeminisme memandang bahwa dunia, welas asih, cinta dan kebahagiaan sejati diperoleh dari sesuatu yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, jika peradaban ingin agar keberlanjutan tetap berlangsung, maka semua orang harus kembali pada nature

Bagi saya, ilmu ini sungguh sangat dibutuhkan apalagi dalam kondisi dunia hari ini.  

Segitu dulu tentang opini pribadi saya mengenai Ecofeminism. Ketemu lagi lain waktu!  

Salam hangat dari saya, Anye 🌻🍃


Tak lupa dengan penutup dari pak Gemoy 😁

Komentar

Postingan Populer