CERPEN: DINDA


Aku kabur. Menenteng beberapa perlengkapan untuk hidup sejenak di tengah perantauan yang aku niatkan untuk membalas dendamku pada kekasih. Dinda adalah perempuan yang cantik. Saking cantiknya, mampu menggelapkan mata siapa saja yang berdiri untuk sesembah tubuhnya. Beberapa kali aku sengaja menengok lenggok pada bukit tinggi di antara dagu dan perut yang datar itu. Dia menatap aku dengan penuh pertanyaan yang tak sengaja aku terjemahkan sendiri. Namun, pikirku dan pikirnya tidak jauh berbeda saat Dinda selalu menegur untuk pemberian cincin kawin atau seserahan yang datang dari antah berantah ke rumahnya. 

.

Bulan Oktober saat hujan menghampiri aku dan perempuan seberang yang duduk mematung dan anggun. Aku menunggu angkot biru sebiru air mata di pipi perempuan itu. Di waktu bersamaan, angkot di ujung jalan juga datang ke pipi jalan. Perempuan itu menyeberangkan diri sambil sesekali mengusap biru di ujung matanya. Kami sama-sama merasuki selangkangan angkot yang sudah beberapa kali dimasuki orang. 

Aku duduk di sebelah perempuan basah. Bersama dengan rok abu-abu yang menggelap titik demi titik sebab air terus berjatuhan dan mendarat manis di pipinya. Aku tidak berani bertanya, tidak berani juga menatap matanya. Aku biarkan ia terus tertunduk malu akibat biru. Tak selang beberapa menit, perempuan itu kembali malu ketika biru tak sengaja membuat tanganku basah oleh percikan air. Perempuan itu masih memelihara biru dalam matanya dan sebab itu, ia memberanikan diri untuk meminta bantuan padaku. "Apakah kau punya tisu?," Tanyanya. Aku terperanjat oleh kepalaku sendiri mengingat eksploitasi alam yang bertubi-tubi membabat habis tisu-tisuku dan menggantinya dengan kain tangan yang lusuh. Anehnya, setiap pagi aku selalu kewarung untuk membeli dan membuangnya jika ia sudah tak layak pakai. "Aku tidak punya tisu semenjak tisuku sudah habis dibabat pemerintah. Jika kau mau, ambil saja kain ini," 

Ia tak enak hati. Biru dalam matanya kembali menderas sebab ia ternyata kehilangan tisunya dengan skenario yang sama. Di beberapa menit kedepan aku turun dari angkot dan perempuan itu meminta agar diturunkan dengan aku yang sudah memikul puluhan beban. "Siapa namamu dan sekolah di mana kamu?" 
Aku tidak bisa berbicara dengan perempuan ingusan yang malu-malu ingin tahu siapa diriku, bagaimanapun juga, privasi tetaplah privasi sekalipun hanya menanyakan nama. Aku menatapnya sembarang lalu berjalan cepat meninggalkan dia. Perempuan itu mengikutiku dengan separuh sedih dan langsung berdiri di hadapanku beriring kaki yang lebih cepat. 
"Aku Dinda, terima kasih sudah menolongku" 

.

Aku terlambat. Menjemput Dinda yang sudah menelponku puluhan kali. Aku yang terlelap dengan bunga-bunga tidur. Jika Dinda tau aku tidur dengan bunga-bunga, mungkin ia juga akan cemburu. Tapi apalah artinya bunga-bunga tidur, aku selalu rela untuk disetubuhi, dijadikan budak dan menolong tanpa pamrih keluarga dinda. 
"Kamu itu sialan yaa! Aku ini ujian sekolah!!" Kata-kata yang menyakitkan namun masih terasa enak didengar. Aku bergegas ke tempat tujuan dengan terpincang-pincang menghidupkan motor kesayanganku. Motor Vespa yang tidak pernah pergi untuk meninggalkan aku dan juga air mata. Dinda segera merangkak cepat ke dalam sekolah negeri yang lama—tempat aku dulu ngopi sambil menyantap ganja dengan beberapa temanku. Dinda tidak mengucapkan apa-apa, hanya umpatan saja yang ia ikut sertakan bersama dengan tubuhnya yang meninggalkan aku. Aku pulang bersama biru yang hadir ujung jalan, sama persis saat aku dan Dinda pertama kali bertemu. 

.

"Dua minggu lagi, kau akan menikah. Dengan itu pula motormu harus kau gadaikan untuk menikahi anak orang! Masa biaya menikah ibu yang tanggung." Ujar ibuku. Ibuku berasal dari desa Oki—tempat para ibu-ibu patriarki. Selama aku tinggal di rumah, aku selalu menjadi tawanan agar menuruti semua permintaan mereka. Namun, kali ini dadaku sesak. Aku kehabisan kata-kata dengan berbagai bayang-bayang perpisahan pada Vespaku. Motor itu tidak pernah menanggalkan aku bersama biru yang terus mengalir deras di tepi jalan. Aku lagi-lagi mematung mengingat Dinda. Mengingat kekasihku yang belum tamat sekolah namun terus mendesakku agar memberinya seserahan berupa motor Vespaku. 

Lalu apa lagi? Yang tersisa dari aku dan biru?

Hari terus digusur waktu. Aku mulai liar dengan segala pemberontakan. Tidak seperti aksi yang dilakukan mahasiswa belakangan ini, aku memilih untuk memberontak pada hidup yang dikerangkeng. Aku bergegas mencuri beberapa uang dari sisa-sisa kantong celana bapak, bibi dan tak lupa tas Dinda. Setelah menghantarkan undangan pernikahan yang digelar bak pangeran dan putri lusa nanti, Aku mulai terlebih dahulu dengan menuliskan surat kebencian pada Dinda yang aku sempatkan di bagian catatan handphoneku —terletak di ujung kiri layar. Aku menumpahkan segala cinta dan benci yang menyelimuti pasar pergadaian antara aku dan Vespa. Setelah selesai dengan surat menyurat, Aku kabur lewat pintu mata bapak. Bapak membukakan pintu pagi-pagi buta dan mengucap salam serta doa selamat padaku. Aku hilang ditelan kabut. Aku tidak pernah kembali, apalagi motor Vespaku.


Dinda menangis, melaporkan aku pada Tuhan dan juga jagad dunia maya. Aku terkenal dan dicari. Namun sayang, aku tidak pernah ditemukan di kepala perempuan. 


2022




Komentar

Postingan Populer